Ruang Berbentuk Kubus Itu Diisi Bersemesta: Bukan Hanya Tiga-Empat Manusia, Tapi Satu Semesta Raya | Deskripsi Naratif

Foto: https://unsplash.com 

Aku hampir bisa melihat seluruh sisi ruangan dari pintu kamarnya. Dindingnya dicat warna hijau daun mangga muda, persis seperti warna daun-daun pohon di pekarangan rumah Bila. Semilir angin berembus halus dari ventilasi di sisi kiri. Hampir sepertiga dinding itu dipenuhi jendela besar berteralis bunga khas rumah nenek. Pemandangannya sederhana: jemuran dan tembok tetangga. Sesekali bisa kulihat satu-dua kepala berlalu lalang di balik temboknya. Sepertinya tak jarang juga isi kamar ini beradu riuh dengan bisingnya musik dangdut klasik atau genjrengan gitar listrik.

Aku memutuskan masuk, dan sekejap aroma lemari kayu tua bercampur kispray menyeruak jadi satu. Belum sampai lima langkah, aku hampir terjerembab kalau tidak buru-buru menyadari kakiku tersandung sesuatu. Sebuah kasur sederhana yang tampaknya paling besar di ruangan. Tersusun rapi menjadi dua bagian yang tidak sama tinggi, mungkin mengantisipasi supaya ketika sewaktu-waktu jatuh tetap mendarat di tempat yang sama empuknya. Ranjang besinya ditaruh menghadap lemari tanpa pintu di sudut kamar, tak jauh dari meja belajar tua dengan buku novel bertengger memenuhi setiap sekat raknya. 

Mataku kembali menyapu seisi ruangan, merasa tak ada yang istimewa dari kamar ini sebelum akhirnya menyadari salah satu sisi dindingnya dilukis sebuah pohon besar, hampir menyentuh langit-langit kamar. Sebuah lukisan pohon beranting kering tanpa bunga dengan sedikit sentuhan ornamen burung bertengger di beberapa dahan. Meski catnya terkelupas di beberapa tempat dan lekukan rantingnya digambar asal-asalan, aku bisa membayangkan betapa setiap sudut kamar ini indah dipandang. Seakan menghadap ke mana pun akan selalu disuguhkan banyak pilihan; entah lukisan pohon kering kerontang, jemuran berkibaran, atau bahkan ubun-ubun tetangga yang berlalu lalang.

Comments