Sebuah film adaptasi dari mahakarya Leila S. Chudori: Laut Bercerita.
![]() |
Foto: https://unsplash.com |
Sebagai seseorang yang lahir (agak) jauh dari tragedi Mei 1998, saya yakin tragedi berdarah tersebut masih segar di ingatan banyak orang. Mei 1998 adalah salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia. Kini, dua puluh tujuh tahun berlalu, sebuah karya yang “merekam” kisah pilu tersebut lahir dari seorang novelis bernama Leila S. Chudori.
Film hasil adaptasi ini tidak dipublikasikan di platform mana pun. Januari tahun lalu saya berhasil ikut nobar dan diskusi online via zoom setelah war tiket di Instagram bu Leila. Wah, kesempatan yang luar biasa.
Sepenggal Monolog Laut
“Matilah engkau mati, semoga engkau lahir berkali-kali”– Biru Laut.
Sepenggal monolog yang digadang-gadangkan semenjak novel ini diluncurkan. Biru Laut, sang tokoh utama bersama segenap kawannya akhirnya dinyatakan hilang setelah perjuangan panjang menyuarakan ketidakadilan dan menentang pihak penguasa saat itu; setelah tertatih bertahun merangkak dan merunduk sebagai buronan.
Dibungkam, diculik, diinterogasi, dan disiksa dengan tidak manusiawi, Laut Bercerita terinspirasi dari kisah tragis yang dialami oleh sekelompok aktivis mahasiswa pada masa pemerintahan Orde Baru.
Setelah membaca dan memahami novelnya, saya yakin pembaca akan tahu alasan bagaimana Biru Laut bisa lahir berkali-kali setelah kematiannya.
Cuplikan “Dosa” Rezim Orde Baru
Novel Laut Bercerita lahir dari riset panjang bu Leila selama kurang lebih lima tahun. Hingga saat ini, kisah sejarah kelam dan kekejaman yang dialami para mahasiswa tersebut telah dicetak ulang lebih dari 80 kali. Novel ini kemudian diadaptasi ke dalam film pendek berjudul Laut Bercerita (The Sea Speaks His Name) pada tahun 2017.
Bukan sesuatu yang mudah untuk mengadaptasi cerita yang cukup sensitif. Namun, sang sutradara–Pritagita Arianegara–dengan apik mengajak penonton menyaksikan kembali perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh tokoh Biru Laut (diperankan oleh Reza Rahadian) dan kawan-kawannya.
Dalam film tersebut, sekawanan tahanan selalu kembali ke sel dalam keadaan tubuh berlumur darah. Salah satu adegan yang sangat menyayat hati adalah ketika Sunu, salah satu tokoh, menghitung hari dengan goresan darah di tembok tempat ia disekap.
Refleksi kekejaman yang dikemas dalam film ini menjadi simbol dari dosa besar yang dilakukan oleh aparat pemerintah saat itu terhadap rakyatnya sendiri.
“Di hari kematianku, nyalakan apimu. Karena satu jiwa yang kandas, tidak akan menghilangkan rindu pada keadilan”. –Biru Laut.
Film ini menyoroti isu kerusuhan 1998, konflik dan kejahatan rezim, dan perlawanan rakyatnya. Namun, semangat perlawanan dan solidaritasnya tidak bisa dibungkam meskipun menghadapi penindasan yang brutal.
Refleksi 27 Tahun Tragedi Mei 1998
Adaptasi ini memang tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan semua detail dari novel, pun kisah yang terjadi sebenarnya. Banyak perubahan yang dilakukan dalam proses adaptasi, termasuk pembaruan dalam penyampaian cerita. Namun, film ini berhasil mengambil momen-momen penting yang menggambarkan perjuangan dan penderitaan yang dihadirkan dalam novel.
Di samping itu, film berdurasi 30 menit ini tidak hanya mengisahkan penderitaan, tetapi juga mengangkat semangat perjuangan demi keadilan dan kebenaran secara tersirat. Film ini berhasil memberikan refleksi “dosa-dosa masa lalu” yang harus diakui dan diingat oleh generasi sekarang dan masa yang akan datang.
Sejarah mungkin hanya sebuah kisah, tetapi kisah seperti Laut Bercerita mengingatkan kita bahwa dalam setiap kesempatan semestinya kita bisa bijak dalam berkontribusi suara; kenali rekam jejak dan bagaimana ia mampu merespons rakyat.
Comments
Post a Comment