![]() |
Foto: https://unsplash.com |
Sesayup terdengar tawa lirihnya dari sudut ruang; bergema ringan seperti denting lonceng kecil yang terselip di tengah keramaian. Aku mengenalnya sebagai sosok yang selalu kutemui dengan tawa yang, seandainya dunia tahu, mereka tak perlu lagi merisaukan pahitnya kopi atau hama bunga matahari di musim semi. Seolah memang Tuhan sengaja mengirimkannya ke setiap sudut dunia: membuat mereka merasakan bagaimana lekuk wajahnya seolah tampak selalu tertawa.
Aku juga mengenalnya sebagai sosok yang barangkali manusia mencarinya di tengah riuh ramainya kota, ia akan tampak yang paling gelap sekaligus paling bercahaya. Setelan pakaiannya yang serba hitam tak berkelir, lilitan jilbab yang diikat rapi, dan sepasang sepatu yang kadang kala perlu ia seret satu-satu, semuanya akan tampak samar di tengah keramaian. Tapi—seperti namanya—gerak dan tuturnya adalah cahaya yang menelisik di antara teralis jendela; menerangi setiap ruang di gedung-gedung bertingkat, juga di jalan-jalan buntu di sudut kota, bahkan di kamar-kamar kosong di rumah mungil tak berpenghuni.
Lebih dari itu, ia piawai dalam bercerita—terutama soal cinta. Bagi orang lain, cinta mungkin hanya sekadar kata, tetapi di ujung pena miliknya, cinta menjadi kisah yang bernyawa. Pada setiap kata yang ia singgahi akan lahir karya-karya yang sama hebatnya dengan Pak Sapardi. Maka aku mengenalnya dan tak ragu memperkenalkannya sebagai ia si Pakar Cinta.
Comments
Post a Comment