Dari Surakarta ke Surga: Kisah Cinta dalam Serpihan Tragedi 1998 | Analisis Cerpen Linden karya Fathya Amatullah

Cerpen Linden bercerita tentang rasa cinta yang berhasil menghidupkan sepotong kematian. Jauh hari setelah kerusuhan 1998, seorang gadis bernama Nala mengenang mendiang adiknya, Tresna, dan pohon linden kesayangan mereka dengan mengabadikan kisah hidupnya dalam penggalan-penggalan puisi.

Foto: https://unsplash.com 

Analisis cepen mencakup analisis tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Berikut penggalan cerpen yang merepresentasikan tema yang diangkat.

(1) Suara kaca pecah terdengar dari arah jendela toko. Massa di luar sudah memadati jalan, melempar botol dan batu ke sembarang arah. Napasku tersengal. Sebuah botol berisi minyak dengan api menyala berhasil menembus celah teralis jendela. 
 
(2) Sebuah puisi untuk Tresna dan bumi pertiwi, kutulis bersama Linden di atas awan sambil memandangi kota Surakarta; tentang cinta yang menghidupkan sepotong kematian. []

Tokoh dan Penokohan
Tokoh yang diceritakan ada empat, yaitu ibu, Tresna, Linden, dan tokoh aku (Nala). Dalam penggalan cerpen Linden, penokohan dilakukan dengan teknik dramatik, yakni watak tokoh tidak disebutkan langsung oleh pengarang, tapi digambarkan melalui penggambaran fisiknya, tingkah lakunya, dan ucapannya sehingga pembaca harus menafsirkan sendiri watak tokoh itu. (Aisyah, N., 2023).

Aku terkekeh, menyelipkan batang pensil di bawah mahkota bunga kemudian memandanginya. Astaga, gadis itu tumbuh dengan cantik. Gaunnya menjuntai menyapa rumput-rumput taman. Tingginya sudah jauh melebihi ibu. Bahkan jika Tresna ada di sini, aku yakin ia hampir tidak mengenalinya. Ah, seandainya.

Tokoh ibu digambarkan sebagai sosok yang tegar, lembut, tenang, dan penuh kasih sayang. Di tengah situasi genting, ibu tetap tenang dan menenangkan. Ia menjaga anak-anaknya seorang diri dengan penuh kasih sayang. Terlihat dalam penggalan cerpen berikut.

Tenang, Nduk.”

Berkali-kali ibu menenangkan kami dalam isaknya—membesarkan hati anak-anaknya, berkata bahwa semua akan baik baik sajakita pribumi.

Ibu terlihat begitu tegar menghadapi kenyataan pahit yang menimpa keluarganya. Kendati demikian, tak dapat dipungkiri bahwa ia tetap ketakutan dan mengkhawatirkan anak-anaknya, seperti dalam penggalan cerpen berikut.

Ibu yang tengah menonton TV menghambur menuju jendela. Roman mukanya terlihat resah. Hari itu tidak berjalan seperti biasanya. Toko yang biasa ibu buka, ditutupnya sejak dua hari kemarin. Pegawai mendadak diliburkan. Rolling door digembok rapat. Beberapa kali kudapati ibu sibuk memeriksa gerendel besi yang menutupi jendela, memastikan sudah benar-benar terkunci.

Selanjutnya, tokoh aku (Nala) adalah sosok yang kritis. Ia mempertanyakan ketidakadilan di belahan dunia bernama Surakarta. Nala pun digambarkan sebagai tokoh yang pemberani, karena meski tragedi tersebut terjadi ketika usianya masih sangat muda, ia tidak berlarut lama-lama dalam keterpurukan dan memilih untuk berdamai dengan mengenang mendiang adiknya dalam penggalan-penggalan puisi ciptaannya.

Tapi aku tahu semua tidak sedang baik-baik saja. Massa yang mengamuk sudah masa bodoh untuk sekadar memilah mana pribumi dan mana yang sekadar menumpang di bumi pertiwi. Almarhum bapak memang terlahir sebagai etnis Tionghoa, dan darah turunan itu juga mengalir dalam tubuhku. Tapi demi Tuhan, aku ini orang Indonesia! Makco dan buyutku lahir di Indonesia!

Sementara, tokoh Tresna tidak terlibat dalam dialog yang aktif. Namun, secara implisit pengarang menggambarkannya sebagai anak yang menyenangkan dan penuh cinta. Terlihat dari penggambaran rasa rindu Nala yang begitu besar pada Tresna dengan ‘menciptakan’ sosok Linden dalam cerita. Pun, puisi-puisi yang ia ciptakan khusus untuk Tresna. Tresna tumbuh dengan menyenangkan hingga menyisakan kenang yang mendalam di kehidupan Nala selanjutnya.

Tokoh Linden merupakan sosok ada-dan-tiada yang diciptakan sendiri oleh Nala. Linden, jenis pohon yang menyimpan banyak kenangannya bersama Tresna, menjelma menjadi sosok gadis cantik di kemudian hari. Linden hadir sebagai tokoh tambahan yang menguatkan rasa rindu Nala pada Tresna dalam cerpen ini.

Alur dan Pengaluran
Alur dalam penggalan cerpen tersebut disajikan dengan menggunakan beberapa teknik, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Teknik Pembalikan (flashingback). Dapat dilihat dari penggalan cerpen berikut.

Umurku saat itu belum genap 10 tahun. Di usia sekecil itu aku mampu mengingat setiap jengkal kejadian yang sampai kapanpun takkan bisa kulupakan. Sungguh mengoyak hati menyaksikan Surakarta menangis.

Penggalan cerpen tersebut menggambarkan alur yang kembali ke masa tragedi Surakarta delapan tahun silam, tepatnya 13 Mei 1998 ketika usia Nala belum genap 10 tahun. Pengarang menitikberatkan pada kejadian yang menjadi alasan Nala memilih judul “Tresna” untuk puisinya. Puisi tersebut ia buat khusus untuk Tresna dan bumi pertiwi.

b. Teknik Penundaan (suspending). Dapat dilihat dari penggalan cerpen berikut.

“Na, katamu Tresna suka linden juga ‘kan, ya?” Tiba-tiba saja gadis itu menghampiriku, tersenyum manis menyodorkan sehelai daun linden hijau kekuningan tepat di depan mata.
Aku mematung. Sepersekian detik setelahnya penglihatanku mendadak berbayang. Tak sadar kemudian sebulir air mataku jatuh; satu-satu, seribu, dua ribu.
“Na?”
                                                                       ***

Penggalan cerpen tersebut menunda percakapan antara Nala dan Linden yang menyebabkan pembaca bertanya-tanya kelanjutan dari rangkaian cerita.

c. Teknik Pembayangan (foreshadowing). Dapat dilihat dari penggalan cerpen berikut.

Sebuah puisi untuk Tresna dan bumi pertiwi, kutulis bersama Linden di atas awan sambil memandangi kota Surakarta; tentang cinta yang menghidupkan sepotong kematian. Akankah puisi ini membawa Tresna kembali?

Penggalan cerpen tersebut memberikan gambaran sekilas lanjutan cerita tentang keberadaan Tresn di rangkaian cerita berikutnya.

Latar
a. Latar Tempat
Pengarang menggambarkan latar tempat cerpen di kota Surakarta, tepatnya di kediaman tokoh utama bersama ibu dan adiknya, Tresna.

(1) Mendung gelap menyelimuti kota Surakarta. Belum sampai matahari terbit, seisi rumah sudah dikagetkan oleh suara gaduh dari luar. Ibu yang tengah menonton TV menghambur menuju jendela. Roman mukanya terlihat resah.
 
(2) Sungguh mengoyak hati menyaksikan Surakarta menangis.
 
Selain itu, pengarang menggambarkan latar tempat cerpen di surga, jauh setelah peristiwa kerusuhan dan hilangnya Tresna,
“Cantik!” Linden menyeru kegirangan. Ia menari dan berlari mengitari pekarangan. Tangannya memegang sehelai daun berbentuk hati yang kupetik pagi tadi—sibuk memamerkannya pada semua makhluk yang ia temui. “Surga indah ya, Na?”

b. Latar Waktu
Pengarang memulai cerita dengan penggambaran kota Surakarta di tahun 1998 yang mendung dan gelap di pagi hari, tepatnya sebelum matahari terbit.

Mendung gelap menyelimuti kota Surakarta. Belum sampai matahari terbit, seisi rumah sudah dikagetkan oleh suara gaduh dari luar.

c. Latar Sosial
Keadaan sosial yang digambarkan pengarang adalah kerusuhan pada tahun 1998 di kota Surakarta. Pada saat itu, sedang marak terjadi kerusuhan akibat dari krisis keuangan yang melanda dunia. Sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa menjadi korban kerusuhan. Mirisnya, rakyat kecil keturunan Tionghoa maupun pribumi yang tak bersalah pun ikut terseret dalam kerusuhan hingga menelan banyak korban.

Akhirnya aku tersadar. Siaran kerusuhan akibat krisis kemarin pagi, tragedi Trisakti yang tak sengaja kudengar di TV, dan pajangan foto ibu dan almarhum bapak di dinding ….
 
Tapi aku tahu semua tidak sedang baik-baik saja. Massa yang mengamuk sudah masa bodoh untuk sekadar memilah mana pribumi dan mana yang sekadar menumpang di bumi pertiwi. Almarhum bapak memang terlahir sebagai etnis Tionghoa, dan darah turunan itu juga mengalir dalam tubuhku. Tapi demi Tuhan, aku ini orang Indonesia! Makco dan buyutku lahir di Indonesia!

d. Latar Metaforik
 
Mendung gelap menyelimuti kota Surakarta. Belum sampai matahari terbit, seisi rumah sudah dikagetkan oleh suara gaduh dari luar.
 
Awan mendung dan langit yang gelap dala cerpen ini menggambarkan suasana mencekam sebelum terjadinya kerusuhan.

e. Latar Atmosfir
 
Aku beranjak dari tempatku duduk dan mulai membersihkan rerumputan yang menempel di celana. Sambil memandangi buku catatan hitam yang kertasnya kini penuh coretan, aku tersenyum. Akhirnya.

Pengarang tidak menggambarkan seara spesifik latar tempat dalam penggalan cerpen tersebut. Namun, terlihat dari bagaimana tokoh beranjak dari tempat duduknya dan membersihkan rermuputan di celana, dapat disimpulkan bahwa tokoh sedang berada di luar ruangan yang berumput.

5. Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama. Penyebutan ‘aku’ sebagai sudut pandang cerita menggambarkan detail kejadian yang dialami, dirasakan, dilihat, didengar, dan dilakukan oleh tokoh ‘aku’. Salah satu contohnya ada dalam penggalan berikut,

Aku terkekeh, menyelipkan batang pensil di bawah mahkota bunga kemudian memandanginya. Astaga, gadis itu tumbuh dengan cantik.
 
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pengarang adalah bahasa kolokial atau percakapan sehari-hari.

“Cantik!” Linden menyeru kegirangan. Ia menari dan berlari mengitari pekarangan. Tangannya memegang sehelai daun berbentuk hati yang kupetik pagi tadi—sibuk memamerkannya pada semua makhluk yang ia temui. “Surga indah ya, Na?”
Aku terkekeh, menyelipkan batang pensil di bawah mahkota bunga kemudian memandanginya. Astaga, gadis itu tumbuh dengan cantik. Gaunnya menjuntai menyapa rumput-rumput taman. Tingginya sudah jauh melebihi ibu. Bahkan jika Tresna ada di sini, aku yakin ia hampir tidak mengenalinya. Seandainya, ah.
“Na, katamu Tresna suka linden juga ‘kan, ya?” Tiba-tiba saja gadis itu menghampiriku, tersenyum manis menyodorkan sehelai daun linden hijau kekuningan tepat di depan mata.
Aku mematung. Sepersekian detik setelahnya penglihatanku mendadak berbayang. Tak sadar sebulir air mataku jatuh; satu-satu, seribu, dua ribu.
“Na?”

 

Comments