Batas Ruang dan Mereka yang Berlalu Lalang | Deskripsi Naratif

Foto: https://unsplash.com 

Pipiku memerah. Tak hentinya tangan-tangan itu menaruh genggamannya pada lengan mungilku yang tersemat kaku. Genggaman itu sungguhan berganti setiap hari; kadang milik lelaki tampan berkacamata, wanita cantik dengan blouse merah muda, atau tak jarang juga datang dari tangan keriput ibu-bapak paruh baya. Mereka mengajakku berdansa singkat; mengayun maju, lalu mundur, lantas maju, mundur—cantik, rasanya. Aku tertawa. Tubuhku dibiarkannya terhempas, mengibas angin kemudian berdentum ringan persis ketika aku jatuh pada pelukan sang Bingkai. Ah, ia selalu saja hangat merengkuh tubuh rampingku dalam setiap sekat rumpang miliknya.

Sekali lagi pipiku memerah—kali ini merona lebih merah. Seorang remaja tanggung, tegap tinggi menjulang mendatangiku. Ia menaruh punggungnya tepat di tubuhku sampai-sampai aku bisa merasakan degup cemas yang disimpannya diam-diam. Rasanya aku ingin membelai ujung kepalanya sambil berbisik, dunia akan selalu baik-baik saja, tak perlu terlalu cemas. Namun sekejap kemudian ia berbalik, menarik nafas seraya menyentuh ragu guratan kayu pada tubuhku. Entah apa yang ia lafalkan, cepat sekali ia menggenggam kasar lenganku dan mendorongnya mundur; membanting tubuhku kembali pada rengkuhan sang Bingkai. 

Aku termenung. 

Sejak saat itu pipiku tak pernah lagi merah merona.



Comments