Angin Barat bertiup kencang, menyapu layang-layang dengan sekali helaan. Mengudara indah bersama senja hari ini. Tak ada yang menyangka, satu dari sekian banyak layang-layang menyimpan jejak sejarah, yang hari ini hingga seterusnya, menjadi saksi bisu persahabatan kami.
“Bagus kah?”
Aku mengacungkan jempol. “Mantap bos-Q.”
***
Hiruk pikuk terdengar dari setiap sudut kelas 7A, menyaingi suara bel tanda pulang yang berdering kencang. Koridor yang sejak tadi kosong, kini berhamburan murid-murid yang tak sabar terbebas dari pengapnya ruang kelas. Memasuki bulan ketiga, kami sudah mulai akrab dengan teman baru di sekolah, pun lingkungannya.
“Adi!” Sebuah teriakan membuatku sontak membalikkan badan, tersenyum melihat kedua sahabatku.
“Jadi kan di rumah ko, Dek?” tanya Badrun, bocah Bugis itu menatap Kadek memastikan.
“Nggih, Run.” Kadek, pemilik mata almond-belo itu tersenyum kecil. Tangannya tiba-tiba merangkulku cepat, menarik tubuh kurusku ke luar sekolah.
Kami ini tiga orang anak yang dipertemukan layang-layang. Topik pertama perkenalan kami bisa dibilang cukup aneh, bukan nama atau asal sekolah seperti obrolan pada umumnya, melainkan layang-layang. Kami berdebat cukup panjang tentang daerah siapa yang punya layang-layang paling hebat, tapi itulah alasan mengapa kami bisa sedekat hari ini.
Dulu, di kampung halaman mereka, Kadek dan Badrun sering sekali menonton festival layang-layang, bahkan Kadek sering sekali pamer, kalau Bapa-nya pernah menjurai festival Internasioal paling hits di Padang Galak, Bali. Aku sendiri tumbuh bersama layang-layang. Kakekku adalah seorang seniman layang-layang khas Jawa Barat yang pertama kali memperkenalkan dunia perlayangan kepadaku. Beliau juga yang selalu menjadi kawanku bermain layang-layang. Mungkin layang-layanglah yang membuat bagian depan rambutku berwarna merah, terlalu lama ditimpa cahaya matahari.
Rencananya, hari ini kami akan mengerjakan tugas prakarya kami untuk dipamerkan di Pekan Budaya Sunda dan Kreasi Siswa bulan Oktober mendatang. Jelas saja, layang-layang menjadi incaran kami untuk dipamerkan. Semoga saja kami bisa ikut berpartisipasi, terlebih kalau bisa menjadi karya terfavorit.
***
Ini pertama kalinya aku dan Badrun ke rumah Kadek, rumahnya sangat Bali. Sebelum masuk pekarangan rumah, terdapat gapura cantik sebagai pengganti pagar. Gapura tersebut memiliki atap yang menghubungkan kedua sisinya. Kata Kadek, gapura itu berfungsi sebagai pintu masuk utama.
“Kalian ke Bale situ ya, aku masuk dulu,” jelas Kadek menunjuk arah Barat. Kami berdua mengangguk, mulai berjalan mendekati Bale yang dimaksud Kadek.
“Eh, ini yang mau aku tunjukin kemarin.” Badrun memperlihatkan kantong kresek hitam yang dibawanya sedari tadi.
“Apaan?” tanyaku penasaran.
“Nanti di Bale.” Aku mengangguk mengiyakan. Kami beriringan masuk ke dalam Bale.
“Nih!” serunya bersemangat. Ditangannya kini terdapat layang-layang seukuran layang-layang pada umumnya. Warnanya agak kecoklatan, namun bahan layangan tersebut kupastikan bukan berasal dari kertas biasa.
“Ini jenis layang-layang tertua di dunia, Di.” Kata Badrun bangga.
“Ini yang waktu itu kamu ceritain ya?” Aku berteriak semangat, tanganku pelan mencoba menyentuh layang-layang di hadapanku. Aku tak pernah melihat layang-layang seperti ini di hidupku. Aku ingat, di perkenalan aneh kami, Badrun langsung bercerita soal layang-layang tertua di dunia yang berasal dari tanah kelahirannya.
“Dari dulu aku selalu berpikir kalau layangan tertua itu dari Cina. Bapak pernah cerita begitu,” aku angkat bahu, masih fokus pada layang-layang yang dibawa Badrun. Sepulang bapak dari Cina dua tahun lalu, bapak cerita banyak sekali tentang Cina, termasuk layang-layang tertua dari Cina. “Apa sih namanya? Aku lupa.”
“We! Bapakmu salah Di. Mau dengar fakta untuk mematahkan klaim di dunia perlayangan selama ini bahwa layang-layang tertua berasal dari Cina?” Badrun tertawa setelah sadar ia berbicara dalam satu napas. “Mau gak?” lanjutnya. Tanpa menunggu jawabanku, Badrun memulai ceritanya.
“Namanya Kaghati Kolope. Dulu, Cina emang ditetapkan sebagai penemu layang-layang, sebelum seorang ilmuwan membuktikan bahwa Kaghati Kolopelah layang-layang tertua, jauh seribu tahun sebelum layang-layang Cina.” Badrun bercerita dengan semangat. “Keren ya? Makassar punya ji!”
“Kamu paham betul tentang layang-layang ini Run.” Kadek yang entah dari kapan datang, sudah duduk dengan nampan berisi minuman di tangannya.
“Eh? Hehe” Badrun tertawa salah tingkah.
“Ini, diminum.” Kadek mempersilahkan.
“Apa ini Dek?” tanyaku setelah menyeruput minuman tersebut. Isinya kelapa muda, namun rasanya agak asam.
“Tambring, minuman khas Bali. Hampir sama dengan es kelapa muda, cuma tambring ada campuran asam Jawa dan putih telur” jelasnya.
“Eh tapi cocok di mulut anak Makassar ini loh Dek.” Seru Badrun. Tak sampai lima menit, gelas ditangannya sudah kosong diteguknya.
“Minuman apa aja cocok dimulut kamu mah Run” candaku mengingat perawakan Badrun yang memang lebih lebar dibandingkan teman-temannya. Badrun hanya tersenyum masam.
“Nah jadi, siapa yang mau melukis?” tanya Badrun, mengembalikan fokus kami dari Tambring.
“Tiang!” Kalau sedang bersemangat, logat Bali Kadek bisa muncul meski sudah 2 tahun tinggal di Bandung. “Orang Bali itu seniman,” tambahnya terkekeh. Aku dan Badrun tahu, kemampuan melukis Kadek di atas rata-rata siswa kelas 7. “Kita beri nuansa Bali. Bagaimana?”
“Tapi motif Sunda lebih menarik Dek. Lagipula kita ini urang Bandung dan festival nanti juga tentang budaya Sunda. Bandung adalah kota yang menyatukan kita bertiga.” Aku menyela. “Warnanya juga cerah, terkesan lebih ‘wah’ menurutku,” tambahku. Dengan motif yang lebih menyudut kepada alam, motif khas Sunda patut diberi jempol.
“Tapi motif Bali punya khas tersendiri,” jawabnya tak mau kalah. “Motifnya lebih beragam.”
“Tapi dalam darahku juga mengalir darah seni layang-layang kakekku, Dek. Aku juga punya selera soal layang-layang!” Protesku tak terima.
“We! Sudah gede tapi ributnya masih kayak anak kecil.” Badrun melerai, tangannya yang gempal ia kibas-kibaskan di hadapan aku dan Kadek. “Bagaimana kalau kita padukan?” Usulnya.
“Padukan?” Aku mengernyit. “Boleh sih. Tapi nanti tidak akan menjadi khas Sunda lagi. Merusak saja.”
“Heh, enak saja merusak! Lagipula aku tidak sudi berbagi corak di kertas layang-layang ini denganmu. Memangnya tiang bisa melukis khas sunda? Ha!”
“Kamu teh tinggal di tanah Sunda, Kadek,” aku menghela nafas kesal. “Berterimakasihlah pada tanah yang sekarang kau injak atuhlah, plis!”
“Tapi tiang yang lukis, tiang ingin melukis khas Bali. Silahkan saja kalau kamu mau melukis sendiri. Jelas siapa yang lukisan tangannya paling bagus di sini!”
Aku menggeram. Rasanya ingin mengumpat tapi sia-sia, Kadek benar. Darah yang mengalir pada tubuhku boleh darah seniman perlayangan. Tapi kepiawanku soal bermain kuas terlalu jauh dibanding Kadek.
Hela napas Badrun terdengar keras. “Ini layang-layang milikku, cika. Suka-suka aku kalau aku tak mau memberi ini pada kalian.” Wajah lucunya nampak serius. “Ini ngga lucu, cika. Masa kita berteman karena layang-layang lalu bertengkar lagi gara-gara layangan? Bukankah layangan yang membuat kita dekat? Lagipula aku tak sudi kalau layang-layang kebangganku ini harus diperebutkan dua suku.”
“Tapi Si Sunda Adi ini bilang kalau motif Sunda lebih bagus daripada Bali. Ga terima tiang!”
“Lah, memang iya kan? Motif Bali memang bagus, tapi ini festival budaya Sunda!”
“Layang-layang itu permainan semua suku di dunia, cika. Coba ko pikir, memangnya layang-layang dibuat untuk bermusuhan?”
Aku terdiam, menatap Kadek yang juga diam.
“Layang-layang Kaghati Kolope-ku boleh jadi paling keren dibanding layang-layang kalian semua, dia bisa bertahan di langit 7 hari! Dia pernah juara layang-layang internasional. Tapi soal warna, dia tak seindah layang-layang motif Bali ataupun Sunda. Aku minta kalian memperindahnya, bukan memperebutkannya.
Kita ini boleh berbeda soal suku, cika. Tapi kita sama-sama suka layang-layang, layang-layang membuat kita merasa tidak masalah dengan logat yang kita punya. Aku senang punya teman macam kalian, mau mengobrol layang-layang di saat orang lain mulai tidak peduli permainan tradisional ini.”
Kadek menghela napas. “Baiklah. Kita pakai motif sunda saja, Di.”
Eh? Apa?
“Mana ada!” Aku tertawa salah tingkah, aku tidak mau hanya Kadek yang mengalah di soal sepele macam ini. “Setelah aku pikir ulang, Sunda dan Bali bukan perpaduan yang buruk, Dek. Festivalnya memang budaya Sunda, tapi kau benar, kau tak boleh kehilangan kebanggaan dirimu soal sukumu.” Aku tersenyum, menepuk pundak Kadek, “Semangat atuh, seniman Bali.”
***
“We! Adi, Kadek! Cepat sini!” Teriak Badrun kencang. Aku dan Kadek yang sedang sibuk memperbaiki kenur yang kusut menoleh, memberi isyarat sebentar pada Badrun.
“We! Cepat ko!” Teriaknya lagi. Aku mendengus, menyusul Kadek yang sudah lebih dulu berlari ke arah Badrun.
“Apa sih?” tanyaku ketus.
“Si Kolope udah kering,” jawab Badrun.
“Si Kolope?” tanyaku heran.
“Iya, nama layang-layang kita,” jawab Badrun nyengir.
“Lah, sejak kapan?”
“Ah abaikan. Ini lihat, gradasi warnanya bagus.” Serunya, menunjuk bangga layang-layang yang tergantung. Walau belum sempurna, kami cukup puas dengan motif yang kami lukis. Perpaduan gambar barong Bali usulan Kadek dengan batik Tasikmalaya, sudah membuat aku, Kadek, dan Badrun percaya diri untuk dipamerkan di Pekan Budaya Sunda dan Kreasi Siswa nanti.
Aku melirik jam tangan, masih pukul 4 sore, belum terlalu sore untuk mencoba menerbangkan layang-layang. “Mau coba kita terbangin ga?”
“Boleh! Tiang jagonya nerbangin layang-layang! Nanti kita terbangin di festival budaya juga ya!”
“Bolehlah kalau anak pemenang festival Bali yang nerbangin.” Badrun tertawa senang.[]
Cerpen terpilih yang lolos sebagai finalis di ajang Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI)
November, 2017.
Comments
Post a Comment