Jurnal: Sebuah Prolog

Sebuah kewajaran bagi seorang gadis polos yang tumbuh di lingkungan nggak-sengaja-kena-laki-laki-langsung-meperin-bekasnya-ke-teman-sambil-teriak-antivirus, kaget ketika harus dihadapkan dengan pergaulan antar lawan jenis yang tidak bersekat. Sebelumnya hanya mengenal cinta sebatas tulisan Sarti Love Bambang di papan tulis kelas, tiba-tiba menemukan sebatang coklat dan sepucuk surat di kolong meja, "diterima ga?".

*kibas poni*

Satu hal yang tak ia sadari, disuguhkan cinta piyik anak (mau) remaja dan ke-uwu-an dua insan selama ini membuatnya sedikit menengadah penasaran. Hingga suatu hari, ia mendapati hatinya berjingkrak hanya karena menerima pesan "apa kabar" dari seorang teman laki-laki. Malang nasib, hatinya masih terlalu lemah untuk sekadar disapa; ia luluh pada detik pertama hatinya jatuh. 

***

sc: tumblr erebussociety

"Jurnal" adalah tulisan edisi catatan perjalanan. Aku akan mengawalinya dengan sebuah prolog; alasanku senang menulis hal-hal sederhana di buku harian. 

Puncak tertinggi dari kebahagiaan seseorang dengan hidup yang diabadikan dalam buku harian adalah ketika membacanya kembali, mengulang memoar yang sama di waktu berbeda. Aku sangat bisa kembali merasakan bagaimana canggungnya pertama kali masuk sekolah tiga tahun lalu. Atau, apa yang aku lakukan tepat di hari ini empat tahun lalu. Meski efek samping membaca ulang tulisan tahun silam bagi sebagian orang adalah membuat badan bergidik, mual-mual (ini alay) bahkan trauma, namun itu hal yang lumrah dialami seseorang dengan masa lalu suram yang terabadikan. Entah mungkin hanya aku, seiring berjalan waktu membacanya justru menjadi hiburan tersendiri. ha.

Aku mulai menulis buku harian di buku anak SD pada umumnya; buku bergaris dibalut kotak bergembok. Tak lupa sepasang kunci--aku tidak yakin itu benar-benar besi--yang belakangan baru kusadari kalau satu kuncinya bisa membuka banyak gembok sejenisnya. Entahlah, tapi isinya bisa dibayangkan. Tidak jauh seputar dir diari aku ngantuk atau hai diari gigiku tanggal satu. Sampai akhirnya menyentuh seragam putih-biru, ketika tumbuh buih-buih asmara ala anak (mau) remaja, aku menemukan alasan untuk menulis buku harian berlembar-lembar setiap malam.

Buku harian pertamaku, belinya di borma (wow penting)

Menulis buku harian rasanya candu kala itu. Menafsirkan debar jantung setiap kali pulang sekolah, tentang sepasang mata yang kerap kali mengaduk rasa. Aih, bagi seseorang yang amatir perkara cinta, tawa seorang lelaki saja selalu berhasil membuatku menulis panjang malamnya. Mengoceh panjang dan sibuk bercerita tentang kebiasaannya menaruh jaket di bawah meja, bagaimana ia bicara dan kapan saja ia pulang lebih dari pukul lima.

Sampai di suatu Januari yang mendung, setelah habis setumpuk buku dan cukup lelah berkutat hanya pada satu nama, alih-alih bertahan lama ia justru menjadi daftar nomor satu alasanku terluka. Dan tulisan-tulisan selanjutnya berisi penggalan panjang berita kehilangan.


Menginjak tahun kelima (terhitung hari ini sudah nambah dua)

Hari itu mendadak buku harianku beralih menjadi kumpulan puisi patah hati. Sudut kertas dipenuhi emot sedih dan gambar hati patah setengah (rasanya saat itu aku adalah manusia paling sedih sedunia padahal bleh). Sempat terbesit rasa sesalku karena sudah menyimpan terlalu banyak tentangnya--membiarkan ia abadi dalam banyak tulisanku. Rasanya seperti dipaksa terus ingat, bahkan ketika sudah sengaja reset hape ke setelan pabrik (memanglah lawak). 

Tapi ya, kalau bukan karena tersandung panah asmara, aku mungkin tidak akan pernah berani memulainya. Menulis buku harian untukku bukan sekadar mengabadikan. Lebih dari itu, ia bagian daripada merayakan diri; mau berbagi isi kepala dan memahami diri sendiri. Terlebih untuk manusia diam yang sulit bercerita dan mengekspresikan perasaan sepertiku. Tumbuh dan besar dengan menulis cukup banyak mengubah sudut pandangku tentang kehidupan. Rasa cintaku pada menulis berhasil menuntunku menata kembali serpihan memori, menemukan alasan mengapa beberapa hal terjadi. 

Meski ya memang sering kali dear diary dianggap sebagai hal yang lucu dan aneh dilakukan seorang remaja. Hingga tak jarang celetukan betapa dewasanya mereka yang isi hatinya dicurahkan pada berbait puisi, berlembar cerpen, bahkan berbuku novel--sedang aku nyaman dengan gaya menulis buku harian-ku yang berantakan; tidak dengan kata-kata puitis atau alur tulisan yang indah, (karena sejujurnya aku memang tidak mahir membuatnya) jadi ya, bagaimana?

Catatan perjalanan "Jurnal" akan dikemas sedemikian rupa tergantung cuaca (alias terserah saya). Akan dijadikan wadah ruah segala cerita, yang harapnya dengan membacanya bisa mengambil barang satu-dua.

Sekian dan terima transfer. 

--Tulisan lama yang tertimbun (akhirnya punya nyali setelah seribu kali revisi)

Comments